Wini
Adiarti. Aku biasa memanggilnya dengan sebutan Wini.
Nama itu pun kuketahui dari teman-temanku sebelum dia mau menerima uluran tanganku saat kuajak berkenalan. Dingin, sedikit aneh, namun penuh daya tarik, itulah pandanganku tentangnya diawal perkenalan. Dapat kurasakan ada sejuta misteri tersimpan dalam diri gadis itu. Dan saat ini, aku telah sedikit menemukan jawabannya.
Nama itu pun kuketahui dari teman-temanku sebelum dia mau menerima uluran tanganku saat kuajak berkenalan. Dingin, sedikit aneh, namun penuh daya tarik, itulah pandanganku tentangnya diawal perkenalan. Dapat kurasakan ada sejuta misteri tersimpan dalam diri gadis itu. Dan saat ini, aku telah sedikit menemukan jawabannya.
***
“Wini
tidak seperti gadis pada umumnya. Dia bukan gadis baik-baik. Lebih baik
kau pikirkan lagi sebelum terlanjur jauh berhubungan dengannya."
Anto,
teman dekatku di kampus, lagi-lagi mengatakan hal yang sama untuk
kesekian kalinya. Ini sudah ketiga kalinya ia bicara begitu tentang
Wini. Ya. Sejak kukatakan kalau aku jatuh cinta pada Win.
“Itu kan baru omongan anak-anak, To. Kita sendiri nggak tahu kebenarannya."
"Matamu benar-benar tertutup sama yang namanya cinta."
Aku mengangkat bahu sambil menyeringai ke arah Anto. Dia cuma mendesah kesal melihat sikapku. Ngotot! Itu istilah Anto untukku.
"Apa kamu sudah membuktikannya sendiri, To?"
"Ha? Maksudmu?"
"Ya....apa kamu pernah lihat sendiri Wini melakukan pekerjaan itu?"
"Belum sih. Tapi Fendy, playboy kelas kakap itu katanya pernah merasakannya langsung."
"Ah! Merasakan apa?"
"Tingkah liar Wini." Anto diam sejenak. "Fendy kan pernah pacaran sama dia. Kalau mau tahu persis, tanya aja sama Fendy."
"Tapi kalau cuma gara-gara Fendy, ya nggak bisa jadi bukti untuk memvonis Wini melakukan pekerjaan itu kan?"
"Eh, mas, anak-anak sudah tahu semua soal pekerjaan Wini. Atau kau langsung saja cari tahu dari Wininya sendiri."
" Gila kamu!"
Kutinggalkan Anto untuk masuk kuliah. Kulihat ia masih cengar-cengir nggak karuan.
****
Di
ruang kuliah pikiranku melayang pada Wini. Berjuta pertanyaan menyesaki
pikiranku siang ini. Kadang aku merasa risih juga kalau mengingat
pekerjaan Wini seperti apa yang dikatakan anak-anak di kampus. Serendah
itukah Wini? Menjadi seorang wanita penghibur yang keluar tiap malam
untuk melayani para lelaki hidung belang dan bertangan nakal. Jika
memang benar, apa alasan Wini hingga mau melakukan pekerjaan haram itu.
Aku tak habis pikir. Memuakkan. Mengapa gadis yang kucintai harus
menjadi seorang wanita tuna susila. Menyedihkan. Tapi itu belum tentu
benar.
Hatiku
mencoba mencari keyakinan positif tentang Wini. Kulihat selama ini Wini
adalah sosok gadis yang ramah, baik hati, walau sedikit tertutup
mengenai kehidupannya. Sesaat terdorong juga diriku untuk mencari
informasi dari Fendy.
****
"Hahahaha...gadis
itu? Memang bener, Gung. Wini bukan gadis baik-baik. Dalam diamnya
tersimpan sebuah keliaran yang mengimpikan sejumlah materi."
"Materi?" Aku tak mengerti arah pembicaraan Fendy.
"Iya. Gadis itu cuma ngejar uang. Dia memberikan tubuhnya demi uang."
Badanku gemetar mendengar kata-kata Fendy barusan. Jadi benar...
"Bagaimana kamu bisa tahu, Fen?"
Aku
harus tahu semua. Aku harus tahu ada rahasia apa pada diri gadis yang
kucintai itu. Saat ini aku merasa menjadi orang bodoh yang tak tahu
apa-apa.
"Waktu aku ajak Wini ke pantai, dia mau saja. Di sana, di dalam mobilku, aku mulai menyentuhnya."
"Terus?"
"Aku
cium dia. Pipinya, bibirnya. Aku nggak nyangka Wini bersikap biasa saja
saat itu. Seolah dia telah berpengalaman lebih dari aku."
"Hem..." Aku cuma bisa menggumam.
"Lalu
aku buka baju dan kutangnya. Gila! Gadis itu seperti sengaja
menyodorkan tubuhnya untukku. Terakhir, dia malah minta bayaran padaku."
Aku tak tahan lagi mendengar semua ini. Menjijikkan! Gadis murahan!
Makiku dalam hati. Kutahan Fendy meneruskan ceritanya. Bagiku semua sudah
cukup. Sekarang aku hanya ingin menyendiri. Sendiri!
****
Hari-hari
berlalu seperti biasanya. Tapi hubunganku dengan Wini malah semakin
dekat. Kami sering ngobrol berdua baik di dalam ataupun luar kampus.
Kusadari kalau teman-temanku kurang suka dengan sikapku ini.
Namun
jujur aku sendiri tak bisa menghilangkan rasa rindu dan cintaku pada
Wini setiap hari. Seperti sore ini di kos Wini. Ironisnya kulihat Wini
juga menunjukkan sikap jatuh cinta padaku. Walaupun setelah sekian lama
kami begitu dekat, aku tetap tak berhasil membuat gadis itu terbuka
padaku mengenai kehidupan pribadinya.
Malam
ini, aku merasa sangat pusing dengan perasaanku sendiri. Aku tak
sanggup menahan rasa cintaku pada Wini. Harus kuungkapkan malam ini
juga! Batinku memaksaku melangkahkan kaki keluar menuju kos Wini.
Sesampai di kos Wini, aku tak menjumpai gadis itu.
"Keluar, mas. Dari jam 8 tadi." Kata seorang teman kos Wini yang membukakan pintu.
Aku
segera berangsur pergi tanpa pikir panjang lagi. Akhirnya dua roda
motorku melaju sepanjang jalan-jalan kota Yogya tanpa ada arah tujuan
yang pasti.
Di
sebuah jalan sepi di pinggir kota, kulihat Wini sedang berdua dengan
seorang lelaki yang mungkin lebih cocok disebut pamannya. Mereka keluar
dari sebuah mobil sedan putih dan kulihat Wini berdiri bersandar pada
mobil itu. Lelaki itu mendekatinya dan memeluk erat tubuh Wini tanpa
ragu-ragu. Serentak wajah sumringah milik Wini terhujani ciuman penuh
nafsu dari lelaki itu.
Aku
mau muntah melihatnya. Darahku memanas naik ke sekujur tubuhku. Nafasku
mengalir tak beraturan. Apa-apaan ini? Aku benar-benar tak ingin
mempercayainya.
Tak
lama kemudian mereka berjalan masuk ke rumah kecil yang tak berada jauh
dari tempat lelaki itu memarkirkan mobilnya. Tangan lelaki itu
melingkari pinggul Wini dengan mesra sambil sesekali mencumbui Wini yang
tampaknya sangat lihai meladeni lelaki itu. Lalu mereka berdua hilang
dari pandanganku. Aku tak berani mendekati rumah itu. Aku tak berani
membayangkan apa yang akan mereka lakukan di dalam rumah itu. Atau aku
tak ingin mengakui semua yang telah kulihat ini? Entahlah. Lebih baik
aku pulang.
Kendaraanku
melaju kencang menabrak hembusan angin malam yang terasa sangat dingin
menusuk tulang rusukku. Sepanjang jalan pikiranku teringat pada sosok
gadis pendiam yang selama ini membangun taman bunga cinta di hatiku.
* * * *
Ini
adalah hari ke empat sejak aku melihat kejadian di jalan sepi itu. Aku
jarang menemui Wini lagi. Tapi sore ini aku sudah berada duduk di kursi
ruang tamu rumah kos gadis itu. Kurasa aku harus menanyakan semuanya
pada Wini. Hari ini gadis itu harus membuka semua dengan jujur di
hadapanku. Aku tak perduli hal-hal lain selain kejelasan mengenai diri
Wini.
"Jadi kamu sudah tahu semuanya?"
Suara Wini tampak bergetar takut saat mendengar ceritaku yang melihatnya berdua dengan lelaki bermobil sedan itu."
"Ya! Dan aku ingin tahu ada hubungan apa kamu dengan laki-laki itu?"
"Aku tak bisa menjawabnya."
"Tapi kamu tetap harus menjelaskannya padaku saat ini juga."
"Bukankah kamu sudah dengar dari semua yang dikatakan anak-anak kampus selama ini tentangku?"
"Aku mau dengar dari mulutmu sendiri, Win."
Gadis itu hanya diam dan diam sambil menundukkan kepalanya.
"Win, apa kamu tidak tahu kalau aku mencintaimu? Aku ingin tahu tentangmu tanpa ada rahasia apapun di antara kita."
"Maafkan aku."
"Win, apa kamu juga punya perasaan yang sama terhadapku?"
Wini menganggukkan kepalanya. "Ya, aku pun mencintaimu." Suaranya terasa gamang menjawab pertanyaanku.
Ada sedikit rasa bahagia di hatiku mendengar jawabannya.
"Baiklah.
Lalu siapa laki-laki itu, Win? Apa semua yang dikatakan anak-anak
kampus itu benar? Apa kamu memang seorang wanita...." Aku tak ingin
meneruskan kata-kataku. Sungguh menyebut kata-kata itu pun aku sudah
merasa risih.
"Iya. Semua itu benar. Aku memang wanita penghibur."
Aku
kaget setengah mati. Wini, gadis muda belia yang cantik dan baik hati,
yang selama ini memenuhi mimpi-mimpi malamku, ternyata memang benar
melakukan pekerjaan haram dan murahan itu. Mendadak rasa cintaku luntur
terkikis sedikit demi sedikit dalam kalbuku. Aku kecewa. Sangat kecewa.
"Kenapa kamu sampai melakukan pekerjaan itu, Win?" Aku tak tahu kenapa aku bertanya hal ini pada Win.
"Aku terpaksa. Aku butuh uang untuk membayar biaya kuliahku. Juga menanggung biaya hidup keluargaku di desa."
Masih
banyak lagi yang dikatakan oleh Win. Tapi aku tak begitu memperhatikan.
Aku tahu ia punya alasan yang cukup masuk akal. Meskipun itu alasan
klasik. Aku lebih merasa bingung melihat tubuh Win yang semakin bergetar
kencang di depanku. Tampak sekali kalau gadis itu begitu rapuh dan tak
kuat menghadapi sikapku. Seolah ia merasa sangat bersalah padaku. Sedang
aku sendiri tak tahu harus berbuat apa.
Memeluknya?
Bahkan jiwaku seperti melarangku untuk menyentuh gadis itu. Aku pusing.
Sebersit rasa sedih dan bersalah menggayuti batinku. Begitu teganya aku
menghakimi
seorang gadis belia yang telah mempunyai kesulitan hidup yang begitu
rupa. Yang sebenarnya ia juga ingin mempunyai kehidupan normal seperti
gadis-gadis lainnya. Betapa jahatnya aku. Ini sangat tidak adil bagi
Wini.
"Lebih baik aku pulang."
Akhirnya aku memecah keheningan kami berdua. Hari sudah makin malam. Aku ingin segera sampai di kosku.
"Agung, aku sungguh mencintaimu." Wini berkata dengan pelan sekali sebelum aku meninggalkan teras rumahnya.
"Maafkan aku, Win."
Tak ada lagi yang bisa aku lakukan di sini. Aku harus menenangkan pikiran dan perasaanku sendiri.
****
Sudah
hampir sebulan aku tak bertemu dengan Wini di kampus. Aku pun tak
pernah lagi mencoba menemuinya di kosnya. Aku sudah terlanjur kecewa.
Aku tak bisa menerima pekerjaan yang dilakukannya selama ini.
Teman-temanku di kampus pun tak ada yang tahu tentang keberadaan Wini.
Wini seolah tenggelam di kampus kami. Berita dan omongan-omongan miring
tentangnya pun tak terdengar lagi. Sepi.
Sampai
suatu hari salah satu surat kabar memberitakan tentang kematian seorang
wanita tuna susila yang terbunuh secara mengenaskan. Bulu kudukku
meremang saat kubaca jati diri wanita yang meninggal itu. Inisial WA,
berusia 22 tahun. Seluruh tubuhku lemas seketika. Setelah kutanyakan
pada pihak berwajib mengenai tanda pengenal wanita itu, yakinlah aku
bahwa gadis itu adalah Wini. Aku hanya terdiam menatap berita di koran
itu. Kenapa bisa jadi begini,Win?
Esok
harinya, ada seorang teman kos Wini yang datang menemuiku. Ia membawa
sebuah surat yang katanya dititipkan Wini seminggu sebelum kejadian
pembunuhan itu. Aku sedikit ragu menerima surat itu.
Kubaca
isi lembaran surat dari Wini dengan perlahan. Semakin aku merasa
bersalah pada gadis itu. Ingin aku meminta maaf padanya atas apa yang
telah aku lakukan sebulan lalu. Saat aku menghakiminya dengan begitu
menyakitkan. Sementara aku tak punya hak apa-apa untuk memintanya
menjelaskan semua kehidupan pribadinya.
"Agung,
aku bahagia bisa dekat denganmu. Dan aku senang kau tidak begitu saja
mempercayai omongan teman-teman tentang aku. Aku percaya kalau kau
benar-benar mencintaiku. Maafkan aku, Gung. Karena selama ini aku tidak
terbuka padamu. Tapi terakhir aku bicara padamu, membuka semua aib
diriku, kulakukan semata karena cintaku padamu. Jujur, Gung, aku juga
mencintaimu. Namun aku tak berani memintamu melanjutkan cintamu sejak
kau tahu tentang pekerjaanku itu. Aku sadar, gadis sepertiku tak berhak
merasakan ketulusan cintamu. Kamu terlalu baik untukku. Semoga kamu
mendapatkan gadis lain yang mencintaimu dengan keanggunan yang
sesungguhnya. Aku hanyalah gadis malam. Kehadiranku di dekatmu hanya akan membuat malam-malammu berubah kelam....."
Kulipat
surat dari Wini dengan hati galau. Seiring kututup kisah cinta
singkatku dengannya. Terbayang lagi wajah sumringah yang selalu ditemani
bibir mungil yang terkunci rapat.
Selamat jalan, gadisku. Selamat malam, gadisku.
Kujatuhkan tubuhku di kasur kamarku. Aku lelah. Kuharap malam ini aku bisa menata mimpi baru untuk menyambut pagi lagi.
.......
No comments:
Post a Comment