KALAU SAYA SEORANG PRIA
“Sebagai perempuan, saya boleh menangis,
merajuk,manja.
Tapi bagi kaum pria semua itu terlarang!”
Saya akan membuat perempuan mengerti bahwa lelaki juga
manusia. Punya rasa, punya emosi, bisa sakit hati dan sebenarnya bisa mengucurkan
airmata.
“Untung kamu perempuan,”
begitu ibu saya pernah berkata. Semula saya tak tahu apa maksudnya. Maklum
ketika itu -jaman SD- saya justru menyesal mengapa jadi perempuan. Menurut
saya, boys have all the luck and fun!
Mainan mereka macam-macam bentuknya. Dari mobil-mobilan sampai tembakan, dari
kapal terbang sampai layangan. Sedangkan anak perempuan:Cuma boneka dan
masak-masakan. Sia-sialah ibu saya -saat itu- melarang saya main gundu bersama
Dullah (teman masa kecil dulu).
Ketika waktu beranjak,
saya mencari tahu maksud ibu saya dengan kalimatnya tadi. Ternyata dengan
menjadi perempuan,
saya punya hak istimewa untuk melepaskan isi hati, tanpa harus menjaga gengsi pada siapapun. Sebagai perempuan, saya boleh menangis, tertawa, merajuk, manja. Tak ada yang melarang. Atau tepatnya tak boleh dilarang. Karena -konon- itu sepenuhnya hak wanita. Dengan menjadi perempuan, kita puny hak untuk tampak lemah dan berhak mendapat pertolongan.
saya punya hak istimewa untuk melepaskan isi hati, tanpa harus menjaga gengsi pada siapapun. Sebagai perempuan, saya boleh menangis, tertawa, merajuk, manja. Tak ada yang melarang. Atau tepatnya tak boleh dilarang. Karena -konon- itu sepenuhnya hak wanita. Dengan menjadi perempuan, kita puny hak untuk tampak lemah dan berhak mendapat pertolongan.
Semua itu tak dimiliki
oleh pria. Begitu ia lahir, langsung di vonis tak boleh cengeng. Tak boleh
menangis waktu jatuh. Tak boleh sedih saat ditinggal ibu ke pasar. Kalah main
gundu? Lebih baik melayangkan tinju ketimbang menunjukkan kepedihan. Entah
mengapa lelaki harus menerima nasib seburuk itu? Bisa jadi mereka tak mau
mengaku kalau larangan menunjukkan perasaan itu sebuah malapetaka. Bisa jadi
mereka menganggap itu hal biasa dan harus di terima. Dan hebatnya, diantara
mereka pun ada semacam kode etik untuk mempertahankan nilai ‘emas’ itu.
Mengapa pria harus
menjalani semua itu? Saya terus-menerus bertanya dalam hati. Ibu saya bilang,
itu karena saya bukan laki-laki. Saya tidak bisa menerima jawabannya ini.
Bukankah lelaki juga manusia juga? Dan sebagai manusia ia pun di beri rasa oleh
Penciptanya? Dalam hati saya merasa iba pada pria. Ibu pada ketidakmampuannya
mengeluarkan isi hati sebagai mana yang dirasakan oleh wanita.
Kalau dilahirkan sebagai
lelaki, saya akan berusaha mati-matian mengubah cara pandang wanita terhadap
pria. Saya ingin wanita melihat pria sebagai manusia biasa. Saya ingin pria di
ijinkan menampakkan perasaannya yang sebenarnya terasa di hati. Saya ingin
perasaan dibiarkan mengalir apa adanya. Bukan untuk menunjukkan kelemahannya,
tetapi untuk menjadikan pria manusia yang lebih baik. Lebih sehat dan waras.
Cukup sudah gaya sok kuat dan tahan banting terus-terusan walau telah di terpa
badai masalah. Saya ingin membiarkan emosi keluar dengan bebasnya.
Saya berharap, dengan
membiarkan perasaan hati muncul, pasangan akan tahu bahwa saya bisa sakit hati
oleh kata-katnya yang kurang pas. Dia juga bisa tahu kalau saya sangat menghargai pengorbananya,
cintanya yang tulus, dan perhatiannya yang tak putus. Dengan mengumbar perasaan
pada tempat dan waktu yang tepat, saya akan membuat pasangan lebih memahami
keinginan di hati. Bahwa saya ingin diperlakukan dengan lembut dan tak di buat
cemburu.
Kulit tubuh saya mungkin
lebih kasar, tetepi saya punya hati yang sama lembutnya. Saya ingin dia tahu
bahwa otoot dan tubuh saya yang kekar juga bisa terasa lelah setelah seharian
menemaninya belanja. Saya ingin dianggap mampu mengerjakan urusan rumah tangga.
Dari mencuci piring, menyapu lantai, dan mengganti popok si kecil. Saya ingin
dianggap sahabat dekat, sedekat dia dengan teman wanitanya yang lain. Saya
ingin meluapkan segala perasaan yang ada. Saya ingin. Ingin sekali. Seandainya
saya jadi pria. Seandainya.
No comments:
Post a Comment