CARA SI DIA MENAHAN AMARAH
“Anda melakukan kesalahan
yang membuat si dia marah.
Lalu bagaimana ia menahan
diri agar tak terjadi pertengkaran?”
·
“Pacar saya Rio, seorang yang sabar. Ia selalu berusaha mengalah setiap ada clash diantara
kita. Padahal, biasanya pertengkaran terjadi akibat kelakuan saya yang kelewat
batas dan sifat keras kepala saya. Namun suatu kali, kesabarannya habis. Dan
untuk meredakan kemarahannya, ia tetap berusaha tersenyum. Dan ia selalu
mengulang kata-kata seperti, “Oh ya?” atau “Masa sih?” dengan tak pernah mau
menatap saya langsung. Setelah itu, ia memilih untuk tidak bertemu saya dulu.
Meskipun nantinya selalu dia yang mengajak berbaikan.” (Ruri, 20, Mahasiswa)
·
“Ketika sedang pergi bersama, karena suatu hal, terjadilah perang mulut di antara kami.
Karena marah, saya tinggalkan dia sendiri dan bergegas pulang dengan taksi. Eh…ternyata dia menyusul dan bergurau dengan adik-adik. Setelah dua jam, baru amarahnya mereda. Dan mengajak saya membicarakan masalah yang baru saja terjadi. Setelah masalahnya terselesaikan, senyum lebar mengembang di wajah kami.” (Wina, 20, Mahasiswa)
Karena marah, saya tinggalkan dia sendiri dan bergegas pulang dengan taksi. Eh…ternyata dia menyusul dan bergurau dengan adik-adik. Setelah dua jam, baru amarahnya mereda. Dan mengajak saya membicarakan masalah yang baru saja terjadi. Setelah masalahnya terselesaikan, senyum lebar mengembang di wajah kami.” (Wina, 20, Mahasiswa)
·
“Karena ada keperluan di Minggu pagi, maka saya meminta si dia datang ke rumah pada sore
harinya. Saya sudah memperkirakan, saat dia datang, saya pasti sudah berada di
rumah. Namun perkiraan saya salah. Si dia datang ketika saya masih dalam
perjalanan. Sekitar dua jam dia menunggu saya. Bayangkan bagaimana kesalnya
dia. Sampai dirumah si dia sudah tidak ada. Baru setengah jam kemudian dia
datang lagi dengan muka yang ‘kencang’. Saya tahu dia marah. Ia berbicara
dengan suara datar, menahan emosi, menyatakan kekecewaannya atas kalakuan saya.
Kata-katanya membuat saya menangis.” (Nita, 24, Peneliti)
·
“Pacar saya, Andi, gemar sekali bercanda. Tapi ia seorang yang pelit memuji dan pencemburu.
Suatu saat, saya mengujinya dengan bertanya, bagaimana kalau seandainya saya
tidak jadi menikah dengannya, melainkan dengan Bram yang tergila-gila dengan
saya? Bukannya marah, dia malah berkata, “Kalau Bram memang dapat membahagiakan
kamu, mengapa tidak?” Meskipun frustasi dengan jawabannya, saya tutupi saja
dengan berkata, “Yah, lihat bagaimana nanti saja.” Namun dia segera menghampiri
dan memencet hidung saya, dan berkata sambil ketawa, “Kamu piker saya gila mau
menyerahkan kamu begitu saja,heh?” Ternyata dalam hati dia begitu marah, hanya
ia berusaha menahan emosi dengan sok bersikap tegar.” (Debby, 25, Asisten
Manager)
·
“Berpacaran tiga tahun, cukup membuat kami memahami sifat masing-masing. Si
dia sangat temperamental. Kalau marah, ia akan ngomel-ngomel saat itu juga.
Kadang-kadang malu juga melihat tingkahnya. Hati-hati saya beritahu dia agar
bisa sedikit demi sedikit mengontrol emosinya. Sejak itu, setiap bertengkar,
dia akan diam, lalu memilih untuk tidak bertemu untuk beberapa saat. Setelah
itu kemarahannya disalurkan melalui berolahraga. Ketika hati dan kepalanya
sudah dingin, dia akan menemui saya untuk membahas masalah kami.” (Tina, 27,
Sekretaris)
·
“Kami baru berpacaran dua bulan. Namun seringkali kami perang mulut. Mungkin karena
beda usia diantara kami terlalu jauh, sehingga kadang-kadang saya tidak
mengerti apa kemauannya. Selama ini saya selalu memperhatikan tingkah lakunya
jika kami bertengkar. Kalau sudah marah dia tidak akan menemui saya dulu. Dia
akan pergi tanpa memberitahu kemana. Bahkan handphonenya pun dia matikan agar
tak bisa dihubungi.” (Antik, 25, Programmer)
No comments:
Post a Comment